Ini yang saya alami ketika mengunjungi Pelabuhan di pusat Kota Banjarmasin untuk melihat Sungai Barito yang super duper terkenal itu. Dengan harga becak seharga Rp. 10.000 dimana saya masih tetap bisa bersantai sambil melihat kondisi sekeliling dan menyusuri anak Sungai Martapura, saya menuju Sungai Barito melewati Jalan Mayjend Sutoyo. Perjalanan dari pusat Kota Banjarmasin Tengah menuju tepian Sungai Barito tidak dapat dikatakan sebentar. Kurang lebih perjalanan ditempuh selama 20 menit. Untung saja, Abang Becak yang saya tumpangi sungguh baik hati. Walaupun badannya kecil, ia tetap semangat mengayuh becaknya. Walaupun bahasanya pun masih sangat Banjar campuran madura sekali, dan saya menggunakan bahasa Indonesia, namun komunikasi di antara kami berdua sudah sangat seru sekali. Abang becak yang baik hati tersebut membawa saya sambil bersantai karena saya berpesan demikian guna melihat- lihat kondisi samping kiri dan kanan Banjarmasin. Sang abang mau menunggu saya bahkan ketika saya sudah sampai dermaga agar saya benar-benar sampai di lokasi tujuan dengan tepat. Bravo abang!
Sayangnya, di ujung Jalan Sutoyo itu saya tidak melihat Sungai Barito. Yang tampak justru pelabuhan dengan aneka macam bangunan tinggi berpagar dan menutupi pandangan saya langsung ke arah Sungai. Sekali berhenti di lokasi pemantauan, ternyata pintu tersebut merupakan loket keberangkatan menuju Surabaya. Saya tidak mau mengambil resiko dengan memasuki area tersebut. Akhirnya saya diberi info oleh warga Banjarmasin yang ramah agar menuju pintu satunya lagi di sebelah selatan yang merupakan pintu masuk umum. Sang abang yang baik hati tersebut pun mengantarkan saya ke lokasi pintu satu lagi dan ternyata disini pun saya tidak boleh menggunakan kamera saya untuk berfoto-foto. Sungguh sangat disayangkan. Ketika saya meminta ijin untuk masuk dan berfoto, bapak petugas yang baik hati dan tersenyum tersebut memang mengatakan tidak boleh. Areal dermaga dan pelabuhan (maupun pelabuhan hampir di seluruh wilayah Indonesia) tampaknya memang bukan lokasi yang dapat dengan mudah dipergunakan sebagai lokasi berfoto. Saya pun tidak jadi memasuki area dermaga dan memilih kembali ke abang becak sambil mengucapkan terima kasih pada bapak petugas tersebut. Alhasil, walaupun dengan rasa sedikit kecewa, saya kembali menuju pusat kota guna kembali ke peradaban.
Abang becak yang baik hati tersebut sebenarnya juga mencemaskan keadaan saya. Berhubung saya sendirian kala itu dan waktu sudah cukup sore, maka ia menyarankan memang tidak baik dan tidak disarankan untuk berjalan sendirian di wilayah dermaga seorang diri. Kerap kali, terjadi kejadian orang ‘diganggu’ disini. Term digangu disini berarti bahwa barang bawannya dirampas begitu keterangan yang saya dapatkan dari abang becak tersebut. Dengan rasa terima kasih yang sungguh besar, saya sedikit banyak mau tidak mau bersyukur tidak jadi masuk ke dermaga yang saat itu waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Jadi, demi menuntaskan rasa kecewa saya, saya meminta agar abang tersebut berhenti di jembatan kecil penghubung delta Sungai Anak Martapura ke arah Barito guna berfoto. Disini, saya mendapatkan foto pemandangan jukung-jukung yang ditambatkan, pemukiman rumah penduduk pinggir sungai dan di kejauhan terdapat Sungai Barito (sayang, karena terlalu jauh, ukuran sungai tersebut tidak dapat diketahui dengan pasti dan di foto tampak sunguh kecil). Dalam perjalanan pulang pun saya merasa sedikit terhibur oleh aliran anak Sungai Martapura yang menyisakan pemandangan jukung-jukung ditambat dan aktifitas warga pinggir sungai, yang walaupun tidak terlalu ramai tapi cukup menarik untuk diabadikan dengan kamera. Tambah lagi satu rasa terima kasih saya kepada abang becak yang ternyata orangtuanya berasal dari Madura tersebut bahwa ia mengantar saya bahkan sampai ke Hotel Grand Mentari, bukan ke Rumah Makan Kaganangan, lokasi start perjalanan saya. Ia mengatakan bahwa ia akan sekaligus pulang karena pada pukul empat sore ia akan berhenti beroperasi. Hal ini tidak berarti becak akan berhenti beroperasi seusai pukul empat.
Sayangnya, di ujung Jalan Sutoyo itu saya tidak melihat Sungai Barito. Yang tampak justru pelabuhan dengan aneka macam bangunan tinggi berpagar dan menutupi pandangan saya langsung ke arah Sungai. Sekali berhenti di lokasi pemantauan, ternyata pintu tersebut merupakan loket keberangkatan menuju Surabaya. Saya tidak mau mengambil resiko dengan memasuki area tersebut. Akhirnya saya diberi info oleh warga Banjarmasin yang ramah agar menuju pintu satunya lagi di sebelah selatan yang merupakan pintu masuk umum. Sang abang yang baik hati tersebut pun mengantarkan saya ke lokasi pintu satu lagi dan ternyata disini pun saya tidak boleh menggunakan kamera saya untuk berfoto-foto. Sungguh sangat disayangkan. Ketika saya meminta ijin untuk masuk dan berfoto, bapak petugas yang baik hati dan tersenyum tersebut memang mengatakan tidak boleh. Areal dermaga dan pelabuhan (maupun pelabuhan hampir di seluruh wilayah Indonesia) tampaknya memang bukan lokasi yang dapat dengan mudah dipergunakan sebagai lokasi berfoto. Saya pun tidak jadi memasuki area dermaga dan memilih kembali ke abang becak sambil mengucapkan terima kasih pada bapak petugas tersebut. Alhasil, walaupun dengan rasa sedikit kecewa, saya kembali menuju pusat kota guna kembali ke peradaban.
Abang becak yang baik hati tersebut sebenarnya juga mencemaskan keadaan saya. Berhubung saya sendirian kala itu dan waktu sudah cukup sore, maka ia menyarankan memang tidak baik dan tidak disarankan untuk berjalan sendirian di wilayah dermaga seorang diri. Kerap kali, terjadi kejadian orang ‘diganggu’ disini. Term digangu disini berarti bahwa barang bawannya dirampas begitu keterangan yang saya dapatkan dari abang becak tersebut. Dengan rasa terima kasih yang sungguh besar, saya sedikit banyak mau tidak mau bersyukur tidak jadi masuk ke dermaga yang saat itu waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Jadi, demi menuntaskan rasa kecewa saya, saya meminta agar abang tersebut berhenti di jembatan kecil penghubung delta Sungai Anak Martapura ke arah Barito guna berfoto. Disini, saya mendapatkan foto pemandangan jukung-jukung yang ditambatkan, pemukiman rumah penduduk pinggir sungai dan di kejauhan terdapat Sungai Barito (sayang, karena terlalu jauh, ukuran sungai tersebut tidak dapat diketahui dengan pasti dan di foto tampak sunguh kecil). Dalam perjalanan pulang pun saya merasa sedikit terhibur oleh aliran anak Sungai Martapura yang menyisakan pemandangan jukung-jukung ditambat dan aktifitas warga pinggir sungai, yang walaupun tidak terlalu ramai tapi cukup menarik untuk diabadikan dengan kamera. Tambah lagi satu rasa terima kasih saya kepada abang becak yang ternyata orangtuanya berasal dari Madura tersebut bahwa ia mengantar saya bahkan sampai ke Hotel Grand Mentari, bukan ke Rumah Makan Kaganangan, lokasi start perjalanan saya. Ia mengatakan bahwa ia akan sekaligus pulang karena pada pukul empat sore ia akan berhenti beroperasi. Hal ini tidak berarti becak akan berhenti beroperasi seusai pukul empat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar